Namanya BAI FANG LI. Dia adalah seorang tukang becak (rickshaw) di kota Tianjin, China. Di sepanjang hidupnya, ia mencari nafkah dengan mengayuh becak, memberi pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan transportasi murah dari satu tempat ke tempat lain.
Tubuhnya kecil, bahkan terlalu kecil dibandingkan dengan sesama tukang becak lainnya. Namun,
ia sangat energik dan antusias. Setiap hari dia memulai rutinitasnya
pada pukul 6 pagi, mengelilingi kota dengan becaknya untuk mencari
penumpang atau mengantar mereka ke tempat tujuannya. Dia bekerja
sepanjang hari, Bai Fang Li jarang pulang sebelum pukul 8 malam.
Bai Fang Li tinggal di sebuah gubuk tua reyot di daerah kumuh di kota Tianjin. Di dalam gubuk itu hanya ada satu ruangan dimana ia harus menyewa dan berbagi tempat bersama beberapa orang lainnya. Praktis tidak ada perabotan sama sekali di dalam gubuknya, kecuali sepotong karpet tua yang dipakainya untuk tidur setelah seharian bekerja menarik becak. Di ruangan ini juga, ia hanya memiliki sebuah kotak kardus tua tempat ia menyimpan selimut tua miliknya yang sudah lusuh dan penuh jahitan. Ada juga piring dan cangkir kaleng, yang ditemukannya di tumpukan sampah di sekitar gubuk, yang dipakainya untuk makan dan minum. Di sudut pondok, ada sebuah lampu minyak untuk memberikan penerangan di malam hari.
Bai
Fang Li tidak memiliki keluarga atau kerabat di kota tempat tinggalnya.
Orang-orang hanya tahu bahwa ia datang dari kota lain. Namun, ia tidak
pernah merasa kesepian karena selalu dikelilingi oleh orang-orang yang
menyukainya. Mereka mencintainya karena sikap positif dan kemurahan
hatinya. Dia membantu orang yang membutuhkan bantuan, dan melakukannya
dengan sukacita tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Dari
penghasilannya sebagai tukang becak yang meskipun tidak seberapa,
seharusnya ia mampu membeli makanan dan pakaian yang lebih baik. Namun,
ia malah menyumbangkan sebagian besar penghasilannya untuk sebuah panti
asuhan di Tianjin yang menangani lebih dari 300 anak yatim piatu. Juga
untuk sekolah yang dikelola oleh panti asuhan tersebut .
Sebuah insiden yang mengubah cara hidupnya
Bai
Fang Li mulai menyumbang untuk panti asuhan pada tahun 1986, yaitu di
saat usianya mencapai 74 tahun. Ini adalah kisah bagaimana hatinya
tersentuh dan bagaimana ia membuat keputusan untuk melakukan apa yang
telah ia lakukan sekarang.
Pada
suatu hari Bai Fang Li sedang beristirahat sejenak setelah mengantar
seorang pelanggannya. Ia melihat di jalan, ada seorang anak laki-laki
kurus berumur kira-kira enam tahun sedang menawarkan bantuan kepada
seorang wanita untuk membawakan belanjaannya. Ia melihat anak kecil ini
membawa tas belanjaan yang berat dengan susah payah, tapi juga terlihat
bersemangat untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Ada senyum lebar
terlukis di wajah anak itu ketika telah berhasil menyelesaikan tugasnya
dan menerima uang sebagai imbalan atas jasanya. Anak ini mendongak ke
langit menggumamkan sesuatu seolah-olah ia sedang berdoa dan mengucap
syukur atas berkat yang baru saja diterimanya. Bai menyaksikan anak itu
membantu beberapa orang yang sedang berbelanja di pasar, dan setiap kali
menerima pembayaran atas jasanya, ia mendongak ke langit dan
menggumamkan sesuatu.
Kemudian,
Bai melihat anak itu pergi ke tumpukan sampah dan menggali seolah
mencari sesuatu. Ketika behasil menemukan sepotong roti kotor, anak itu
terlihat begitu senang. Ia membersihkan roti itu sebaik-baiknya, lalu
memakannya seolah-olah itu adalah sepotong roti yang datang dari sorga.
Hati Bai sangat tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Dia mendekati anak
itu dan menawarkan untuk berbagi makan siang dengannya. Bai bertanya
mengapa anak itu tidak membeli makan siang yang layak dengan uang yang
diperoleh tadi. Anak itu berkata, "Saya akan menggunakan uang itu untuk
membeli makanan untuk adik-adik saya." Bai bertanya, "Di mana orang
tuamu?" Anak itu menjawab, "Orang tuaku sehari-hari bekerja sebagai
pemulung di tempat pembuangan sampah. Namun, semenjak satu bulan yang
lalu, mereka menghilang dan aku belum pernah melihat mereka lagi. Jadi,
aku harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan juga kedua adikku.."
Bai
Fang Li meminta anak itu untuk membawanya menemui saudara-saudara
perempuannya. Bai menangis ketika melihat kedua gadis itu, berumur 5 dan
4 tahun. Gadis-gadis itu begitu kotor dan kurus, dan pakaian mereka
sangat lusuh dan kotor. Para tetangga tidak peduli dengan kondisi ketiga
anak karena mereka juga sedang berjuang untuk mengatasi masalah
kehidupan mereka sendiri.
Bai
Fang Li membawa ketiga anak itu ke sebuah panti asuhan di Tianjin. Dan
mengatakan kepada manajer panti asuhan bahwa ia akan memberikan uang
yang didapatnya ke panti asuhan untuk membantu anak-anak di sana
mendapatkan makanan, perawatan dan pendidikan yang layak. Sejak itu Bai
Fang Li memutuskan untuk bekerja lebih keras dan dengan tekad yang lebih
dalam, mengayuh becak untuk mendapatkan uang guna membantu anak-anak di
panti asuhan. Dia mulai bekerja lebih awal dan pulang terlambat untuk
mendapatkan uang ekstra. Dari semua pendapatannya setiap hari, ia
menyisihkan sedikit untuk membayar sewa gubuk kecilnya. Kadang-kadang
untuk membeli sedikit makanan. Sisa pendapatan disumbangkannya semua ke
panti asuhan untuk membantu mereka memberi makan dan merawat anak-anak.
Dia
sangat senang melakukan semua hal ini meskipun dengan segala
keterbatasannya. Dia justru merasa bahwa adalah sebuah kemewahan bahwa
ia masih punya tempat tinggal, makanan untuk dimakan dan pakaian untuk
dipakai, meskipun pakaian itu ia dapat dengan memulung dari tempat
pembuangan sampah. Dia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya.
Bai Fang Li tidak pernah libur, ia bekerja sebagai tukang becak 365 hari setahun, tanpa mempedulikan cuaca, ia tetap bekerja meskipun hawa dingin di saat turun salju atau ketika matahari bersinar sangat terik dan panas. Ketika ditanya mengapa ia bersedia mengorbankan begitu banyak, dia selalu berkata, "Saya selalu merasa menyesal bahwa saya bodoh dan tidak berpendidikan, tidak masalah kalau saya menderita, asalkan anak-anak itu memiliki sesuatu untuk dimakan dan dapat memiliki pendidikan yang layak untuk masa depannya nanti. Saya merasa bahagia dengan melakukan semua hal ini. "
Memberi Tanpa Mengharapkan Apapun
Bai
Fang Li mulai memberikan sumbangan kepada panti asuhan sejak 1986. Dia
tidak pernah meminta imbalan apa pun. Dia bahkan tidak tahu anak yang
mana yang diuntungkan dari sumbangannya. Selama 20 tahun berikutnya, Bai
Fang Li mengayuh becaknya untuk satu tujuan: memberikan sumbangan
kepada anak-anak di panti asuhan untuk membantu mereka hidup dengan
lebih baik. Selama 20 tahun, secara total ia telah menyumbangkan
penghasilannya sebanyak RMB 350.000 (sekitar Rp 500 Juta) ke panti
asuhan.
Ketika usianya
mencapai 90 tahun, ia membawa seluruh sisa tabungannya sebanyak RMB500
(sekitar Rp 750.000) ke sebuah sekolah panti asuhan bernama Yao Hua.
Tidak banyak, tapi itu adalah seluruh uang yang dimilikinya.
Bai
Fang Li berkata dengan sedih, "Saya sekarang sudah terlalu tua dan
lemah, saya tidak kuat lagi mengayuh becak, dan tidak dapat melanjutkan
memberi sumbangan. Ini mungkin adalah sumbangan terakhir saya" Semua
guru dan siswa di sekolah itu tersentuh dan menangis mendengarnya.
Pada bulan Mei 2005, di usianya yang ke 93, Bai Fang Li di diagnosa mengidap kanker paru-paru. Ia meninggal di rumah sakit setempat empat bulan kemudian. Ratusan orang yang menghadiri pemakamannya menangis, mereka merasa sangat kehilangan ditinggalkan oleh orang tua yang baik hati itu. Ribuan orang lainnya merasa tersentuh oleh pengabdiannya yang tidak kenal pamrih. Bai Fang Li meninggal dalam keadaan miskin, ia tidak meninggalkan apapun selain semangat pengabdian dan cinta tulusnya kepada sesama.
Source : hamba Allah
0 komentar:
Posting Komentar